Senin, 13 Desember 2010

Sedang Mikiran Kamu



Jangan sampai bimbang dan resah ini membunuhku
Semua tak percaya bila tau ..
apakah aku harus bilang itu wajar ??
kau tak pernah sakit?
bisakah waktu memberi pelajaran buatmu!!?
campur..entah apa lagi ku rasa.
jangan mematikan rasaku.
itu semua tak bisa ku hindari.
untuk kali ini saja beri aku kekuatan..
Tuhan kau sayang padaku.
Beri tahu aku.. jangan biarkan takdir membodohiku
Alur hidup tengah kacau. berantakan.
Gila loe hidup :O
Pusingku liatko dh..
Buat ia sedih..sadarkan dia..tak apa bila kau ingin jatuhkan air matanya..
sungguh kau sangat menyesali. 
mungkin kau tak tahu hati Wanita seperti apa ???????
kalau begitu.. kenapa kau tak lepaskan aku seutuhnya.
Biarpun setitik air mata jatuh. tak ada gunanya. kau tak mengerti
tinggalkan aku yang sedang terpuruk
tapi lihat nanti aku kan jadi lebih baik.
lebih baik dari siapapun itu.. Aku pasti jauh lebih baik :)
hadapi segala rintangan apapun aku mampu !
Tuhan takkan tinggalkan aku :)

Jumat, 03 Desember 2010

MARIYAH AL QIBTIYAH



Seperti halnya Sayyidah Raihanah binti Zaid, Mariyah Al Qibtiyah adalah budak Rasulullah yang kemudian beliau bebaskan dan beliau nikahi. Rasulullah Saw memperlakukan Mariyah sebagaimana beliau memperlakukan istri-istri beliau yang lainnya. Abu Bakar dan Umar pun memperlakukan Mariyah layaknya seorang Ummul-Mukminin. Dia adalah istri Rasulullah Saw satu-satunya yang melahirkan seorang putra, yang diberi nama Ibrahim, setelah Siti Khadijah.


Maria Al Qibtiyah adalah ibu dari putra Rasulullah Saw yang bernama
Ibrahim. Dia merupakan perempuan yang santun dengan tutur kata yang
halus dan berparas cantik.
Ia adalah keturunan Romawi dan dibesarkan di istana raja
Muqauqis, Mesir. Meski mualaf, tapi Maria sangat khusu’ beribadah kepada
Allah. Apalagi setelah peristiwa kematian putranya disusul dengan
berpulangnya suami tercinta, Rasullullah Saw, Maria mengisi
hari-harinya dengan mengaji.Hingga akhirnya, perempuan santun dari
negeri Mesir ini menghadap Ilahi di zaman khalifah Umar bin Khattab.




Tentang nasab Mariyah, tidak banyak yang diketahui selain nama ayahnya. Nama lengkapnya adalah Mariyah binti Syama’un dan dilahirkan di dataran tinggi Mesir yang dikenal dengan nama Hafn. 


Ayahnya berasal dan Suku Qibti, dan ibunya adalah penganut agama Masehi Romawi. Setelah dewasa, bersama saudara perempuannya, Sirin, Mariyah dipekerjakan pada Raja Muqauqis.
Rasulullah Saw mengirim surat kepada Muqauqis melalui Hatib bin Baltaah, menyeru raja agar memeluk Islam. 


Raja Muqauqis menerima Hatib dengan hangat, namun dengan ramah dia menolak memeluk Islam, justru dia mengirimkan Mariyah, Sirin, dan seorang budak bernama Maburi, serta hadiah-hadiah hasil kerajinan dari Mesir untuk Rasulullah. Di tengah perjalanan Hatib merasakan kesedihan dihati Mariyah karena harus meninggalkan kampung halamannya. Hatib menghibur mereka dengan menceritakan Rasulullah dan Islam, kemudian mengajak mereka memeluk Islam. Mereka pun menerima ajakan tersebut.

Rasulullah Saw teläh menerima kabar penolakan Muqauqis dan hadiahnya, dan betapa terkejutnya Rasulullah terhadap budak pemberian Muqauqis itu. 
Beliau mengambil Mariyah untuk dirinya dan menyerahkan Sirin kepada penyairnya, Hasan bin Tsabit. Istri-istri Nabi


 yang lain sangat cemburu atas kehadiran orang Mesir yang cantik itu sehingga Rasulullah harus menitipkan Mariyah di rumah Haritsah bin Nu’man yang terletak di sebelah masjid.

Allah menghendaki Mariyah Al Qibtiyah melahirkan seorang putra Rasulullah setelah Siti Khadijah. Betapa gembiranya Rasulullah mendengar berita kehamilan Mariyah, terlebih setelah putra-putrinya, yaitu Abdullah, Qasim, dan Ruqayah meninggal dunia.
Mariyah mengandung setelah setahun tiba di Madinah. Kehamilannya membuat istri-istri Rasul cemburu karena telah beberapa tahun mereka menikah, namun tidak kunjung dikaruniai seorang anak pun. Rasulullah menjaga kandungan istrinya dengan sangat hati-hati. Pada bulan Dzulhijjah tahun kedelapan hijrah, Mariyah melahirkan bayinya yang kemudian Rasulullah memberinya nama Ibrahim demi mengharap berkah dari nama bapak para nabi, Ibrahim a.s. Lalu beliau memerdekakan Mariyah sepenuhnya. Kaum muslimin menyambut kelahiran putra Rasulullah Saw dengan gembira.
Akan tetapi, dikalangan istri Rasul lainnya api cemburu tengah membakar, suatu perasaan yang Allah ciptakan dominan pada kaum wanita. Rasa cemburu semakin tampak bersamaan dengan terbongkarnya rahasia pertemuan Rasulullah Saw dengan Mariyah di rumah Hafshah sedangkan Hafshah tidak berada di rumahnya. Hal ini menyebabkan Hafshah marah. Atas kemarahan Hafshah itu Rasulullah mengharamkan Mariyah atas diri beliau. Kaitannya dengan hal itu, Allah Swt telah menegur lewat firman-Nya:
“Hai Muhammad, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.“ (QS. At-Tahriim:1).
Sayidatina Aisyah mengungkapkan rasa cemburunya kepada Mariyah, “Aku tidak pernah cemburu kepada wanita kecuali kepada Mariyah karena dia berparas cantik dan Rasulullah sangat tertarik kepadanya. Ketika pertama kali datang, Rasulullah menitipkannya di rumah Haritsah bin Nu’man al-Anshari, lalu dia menjadi tetangga kami. Akan tetapi, beliau sering kali disana siang dan malam. Aku merasa sedih. Oleh karena itu, Rasulullah memindahkannya ke kamar atas, tetapi beliau tetap mendatangi tempat itu. Sungguh itu lebih menyakitkan bagi kami.” Di dalam riwayat lain dikatakan bahwa Aisyah berkata, “Allah memberinya anak, sementara kami tidak dikaruni anak seorang pun.”
Beberapa orang dari kalangan golongan munafik menuduh Mariyah telah melahirkan anak hasil perbuatan serong dengan Maburi, budak yang menemaninya dari Mesir dan kemudian menjadi pelayan bagi Mariyah. Akan tetapi, Allah membukakan kebenaran untuk diri Mariyah setelah Ali bin Abu Thalib menemui Maburi dengan pedang terhunus. Maburi menuturkan bahwa dirinya adalah laki-laki yang telah dikebiri oleh raja.
Pada usianya yang kesembilan belas bulan, Ibrahim jatuh sakit sehingga meresahkan kedua orang tuanya. Mariyah bersama Sirin senantiasa menunggui Ibrahim. Suatu malam, ketika sakit Ibrahim bertambah parah, dengan perasaan sedih Nabi saw bersama Abdurrahman bin Auf pergi ke rumah Mariyah. Ketika Ibrahim dalam keadaan sekarat, Rasulullah Saw bersabda, “Kami tidak dapat menolongmu dari kehendak Allah, wahai Ibrahim.”
Tanpa beliau sadari, air mata telah bercucuran. Ketika Ibrahim meninggal dunia, beliau kembali bersabda,“Wahai Ibrahim, seandainya ini bukan perintah yang haq, janji yang benar, dan masa akhir kita yang menyusuli masa awal kita, niscaya kami akan merasa sedih atas kematianmu lebih dari ini. Kami semua merasa sedih, wahai Ibrahim… Mata kami menangis, hati kami bersedih, dan kami tidak akan mengucapkan sesuatu yang menyebabkan murka Allah.”
Demikianlah keadaan Nabi Saw ketika menghadapi kematian putranya. Walaupun tengah berada dalam kesedihan, beliau tetap berada dalam jalur yang wajar sehingga tetap menjadi contoh bagi seluruh manusia ketika menghadapi cobaan besar. Rasulullah Saw mengurus sendiri jenazah anaknya kemudian beliau menguburkannya di Baqi’.

Setelah Rasulullah wafat, Mariyah hidup menyendiri dan menujukan hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah. Dia wafat lima tahun setelah wafatnya Rasulullah, yaitu pada tahun ke-46 hijrah, pada masa pemerintahan Khalifah Sayyidina Umar bin Khattab. Khalifah sendiri yang menyalati jenazah Sayyidah Mariyah Al Qibtiyah, kemudian dikebumikan di Baqi’. Semoga Allah menempatkannya pada kedudukan yang mulia dan penuh berkah. Amin.
(Dinukil dari buku Dzaujatur-Rasulullah SAW, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh, [ed. Indonesia: Istri Rasulullah, Contoh dan Teladan, penerjemah: Ghufron Hasan, penerbit Gema Insani Press, Cet. Ketiga, Jumadil Akhir 1420H)
Sumber: suryadhie 

Suatu hari kesabaran Rasulullah diuji oleh Allah Swt. Dan istri beliau Saw yang bernama Maria Qibtiyah, Rasulullah memperoleh anak laki-laki yang diidam-idamkan. Begitu gembiranya beliau, sampai-sampai anak bernama Ibrahim itu sering di gendong beliau. Rasulullah berharap, Ibrahim akan seperti Nabi Ibrahim a.s. Namun, ternyata harapan beliau tidak kesamapaian. Pada usia tiga tahun, Ibrahim meninggal dunia, mendadak tanpa sakit terlebih dahulu. Rasulullah sangat berduka, hingga matanya banjir dengan air mata.

Seorang sahabat membereranikan diri bertanya, "Engkau mengangis, ya Rasulullah?"
Rasulullah menjawab, "Ya, karena aku manusia biasa, yang tidak boleh adalah meratap."
Kebetulan pada hari yang sama dengan meninggalnya Ibrahim, terjadi gerhana matahari sampai Madinah menjadi gelap. Masyarakat ribut, mereka menyangka terjadi gerhana matahari karena putra Rasulullah Saw wafat.
Rasulullah pun mendengar dan bersabda, "Baik matahari maupun bulan, keduanya tidak akan ditimpa gerhana hanya karena kematian seorang manusia. Siapa pun yang mati itu. Gerhana matahari dan bulan terjadi semata-mata karena kehendak Allah Swt.


Riwayat diatas menunjukkan kepada kita bahwa pribadi Rasulullah Saw yang murah senyum mampu menangis manakala beliau kehilangan putra kesayangannya.
Tangisan ini adalah tangisan keduakaan dan pasti dialami oleh semua manusia, hanya saja Rasulullah Saw tidak sampai larut dalam kesedihan. 



Sebagaimana Allah Swt Firmankan dalam surat Al-Insan [76] ayat 24: "Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu." 


Ayat ini mengandung makna ajakan untuk selalu bersabar dalam kondisi apa pun dan dimana pun, melaksanakan ketetapan Allah dengan penuh sabar. Bagaimanapun juga ketetapan Allah (seperti rezeki, jodoh, dan kematian serta Hari Pembalasan) sudah pasti datangnya.

Pribadi senyum adalah pribadi bijaksana. Artinya ia mampu menyesuaikan diri dengan keadaan. Pada waktu sedih akan ikut sedih (namun tidak larut terlalu lama dalam kesediahn). Kemampuan kita untuk menyesuaikan diri akan mempengaruhi kualitas diri sebenarnya.

(Source, Puji Hartono dan Pranowo SQS)